Jakarta, Pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Batubara tidak ada urgensinya sama sekali, karena sudah ada anak perusahaan BUMN PLN Batubara yang memang bertugas untuk menyuplai terkait pemenuhan kebutuhan Batubara ungkap Ketua Umum Ikal FH Undip Dr. Ahmad Redi.,S.H.,M.H. usai Diskusi Media “Krisis Batubara Dalam Negeri, Quo Vadis Tata Kelola Batubara” di Jakarta, Rabu (26/1/22).
Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan ini menjelaskan bukan soal Domestic Market Obligation (DMO) atau pasokan batubara dalam negeri tetapi lebih kepada tata kelola batubara yang bermasalah. Pembentukan BLU justru berpotensi memberi beban baru dan tidak menyelesaikan persoalan pada permasalahan pasokan batubara. “DMO bukan kewajiban kemarin sore, sudah bertahun-tahun lalu,” imbuh Redi.
Sebenarnya sudah jelas di UU Minerba, PP Minerba kemudian di Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) perusahaan batubara, kuota DMO pun sudah cukup jelas yakni 25%. Seharusnya pengawasan bisa dilakukan dengan merujuk pada ketentuan itu. Yang bermasalah adalah komitmen dari perusahaan untuk memenuhi kewajiban DMO nya ini menurut Redi.
Dengan harga batubara dalam negeri yang dipatok saya kira sudah jalan tengah, perusahaan bisa 75% ekspor batubara dengan harga sesuai mekanisme pasar tapi untuk kebutuhan dalam negeri khususnya untuk kebutuhan energi Pemerintah harus menetapkan harga ekonomis. Setiap kenaikan harga satu dolar, PLN harus membayar kurang lebih 130 juta USD atau 1,38 triliun ungkapnya.
Grand Design IKN jelas menggunakan energi baru terbarukan. Jadi tidak berorientasi energi fosil tapi energi hijau bagaimana penggunaan PLTS, PLTA , kemudian mikro hidro dll bukan semata- mata batu bara. Komoditas sumber daya alam digunakan sambil menunggu transisi energi. Negara kemudian menggunakan energi baru terbarukan ulasnya.
Batubara bisa dimanfaatkan untuk kepentingan khususnya untuk energi di dalam negeri bukan hanya jadi komuditas ekonomi diekspor sebanyak- banyaknya, dieksploitasi sebanyak-banyaknya tapi menegasikan kepentingan rakyat untuk mendapatkan akses terhadap energi murah, ini bahaya cetusnya.
Saya kira sederhana masalahnya. Pemerintah bertugas mengawasi apabila ada ketidaktaatan diberi sanksi sudah sesederhana itu aja tanpa harus membentuk BLU tanpa harus membubarkan PLN Batu Bara tanpa kemudian harus mengeluarkan pajak ekspor. Pemerintah harus meningkatkan pengawasan dan pengenaan sanksi harus dilakukan tegasnya.
Kita kan ada Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) adalah perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan batubara.
PKP2B di perusahaan perusahaan batu bara yang besar-besar ini harus dalam kontek UU Minerba ketika kontraknya berakhir dilanjutkan olen perusahaan BUMN antaranya seperti PT. Bukit Asam, PT. Inalum agar kita berdaulat punya batubara yang memang dimanfaatkan BUMN kita ketika PLN butuh. Bukan harus meminta- minta kepada perusahaan swasta batubara tutupnya.