Dianggap Diskriminatif, Kadisdik Didesak Agar Perbaiki PPDB Jalur Zonasi Berdasarkan Usia

Spread the love

Jakarta – Sekretaris Jenderal Gerakan Masyarakat Cinta Jakarta (Gema Cita), Hilman Firmansyah dalam keterangan tertulisnya di Jakarta Selasa (23/6/20) mendesak Kepala Dinas Pendidikan agar segera memperbaiki PPDB jalur zonasi berdasarkan usia dan tidak Diskriminatif terhadap peserta didik baru di DKI Jakarta.

Hilman menilai Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta tahun 2020 memicu polemik dan menimbulkan keresahan di kalangan siswa SMP yang akan melanjutkan ke jenjang SMA, serta orang tua siswa.

Alasan Disdik dalam PPDB 2020 sebagai strategi masyarakat miskin tak tersingkir jalur zonasi dianggap tidak tepat.

Pasalnya, kebijakan yang diambil Dinas Pendidikan DKI pada masa pandemi ini tidak biasa dan aneh jika dibandingkan dengan PPDB tahun-tahun sebelumnya. Bahkan entah disengaja atau tidak, kebijakan tersebut berpotensi diskriminatif dan tidak adil bagi peserta didik.

Hilman menegaskan kebijakan seleksi prestasi akademik yang Berbasis Akreditasi Sekolah kami anggap diskriminatif.

kuota peserta didik yang diterima di SMA negeri melalui seleksi ini adalah 20%. Karena di masa pandemik Covid-19 tidak ada Ujian Nasional, maka prestasi akademik siswa didasarkan dari rata-rata nilai raport siswa dari semester 1 hingga semester 5.

Namun sayangnya, nilai rata-rata tersebut harus dikalikan dengan Akreditasi Sekolah. Misalnya, seorang siswa yang nilai rata ratanya (prestasi akademik) 90, dengan Akreditasi Sekolahnya 100%. Maka nilai yang dijadikan nilai seleksi adalah 90 dikali 100% sama dengan 90.

Permasalahannya adalah, adakah sekolah yang memiliki Akreditasi 100%? Jawabnya adalah banyak.

Yaitu sekolah-sekolah swasta top. Hampir semua sekolah swasta top di DKI memiliki Akreditasi maksimal 100%, atau mendekati 100%. Bisa 99% atau 98%.

Sedangkan topnya sekolah SMP negeri maksimal 96%. Kenapa Akreditasi SMP negeri kalah dengan akreditasi SMP swasta? Padahal banyak SMP negeri favorit yang selalu unggul dalam prestasi yang diukur dari rata-rata nilai UN tiap tahunnya, maupun prestasi prestasi lain?

Akreditasi Sekolah salah satu atau dua yang menjadi parameter adalah Sarana Prasarana dan dukungan pendanaan sekolah.

jika kebijakan ini tetap diambil. Maka sudah bisa ditebak. Siapa yang akan menghuni SMA-SMA negeri nanti? Lalu kemana 20% top siswa berprestasi dari anak peserta didik melanjutkan sekolah?

Jadi, sekolah negeri itu milik siapa? Inilah potensi kebijakan yang diskriminatif. ditengah situasi yang serba sulit karena pandemi Covid-19 ada kebijakan diskriminatif. Meresahkan peserta didik dan orang tua.  kebijakan seleksi zonasi yang berbasis usia adalah ketidakadilan.

Sebanyak 40% kuota penerimaan SMA negeri berasal dari sistem zonasi. Sesungguhnya, sistem ini sudah dipakai pada tahun- tahun sebelumnya. Namun, ada kejanggalan untuk seleksi tahun ini. Seleksi berdasaran usia. Artinya, di dalam satu zonasi (kelurahan/kecamatan), siswa yang usianya lebih tua lebih berpeluang masuk ke SMA negeri.

40% siswa yang paling tua usianya akan menempati peringkat teratas dalam daftar pengumuman penerimaan SMA negeri dan seterusnya sampai yang bertanggal lahir paling muda.
Prestasi dan jerih payah anak-anak kita sama sekali tidak dihargai.

Mereka yang sudah jungkir balik selama 5 semester tidak dianggap apa-apa. Dimana keadilan jika kebijkan ini tetap diambil, maka yang mengisi SMA-SMA negeri adalah mereka yang karena usianya lebih tua, bisa dari angkatan sebelumnya.

Sisa kuota penerimaan 40% yang terdiri dari jalur afirmasi, prestasi non akademik, alasan kepindahan orang tua dan dari luar DKI Jakarta Jalur ini sudah tepat.

Hilman Mendorong agar kebijakan penerimaan siswa baru ini perlu mendapatkan perhatian masyarakat, terutama Gubernur Anies Baswedan agar segera mengevaluasi kebijakan ini.