Sarat Potensi Korupsi, IAAC Minta Program Pelatihan Kartu Prakerja Dievaluasi

Spread the love

Jakarta,I for Action Against Corruption (IAAC) menyatakan proses penentuan penyedia platform digital dalam program pelatihan Kartu Prakerja tidak melalui prosedur yang tepat serta sarat dengan kepentingan dan potensi korupsi.

Menurut IAAC, walaupun sudah mendapatkan banyak kritikan dari masyarakat, Kementerian Perekonomian terkesan tidak peduli dan masih tetap melanjutkan program pelatihan Kartu Prakerja ini.

“Kemenko Perekonomian masih ngotot menjalankan program pelatihan Kartu Prakerja, padahal sudah banyak penolakan dari masyarakat karena proses penentuan penyedia platform yang tidak transparan dan diduga sarat kepentingan. Bahkan kami mendapat informasi, beberapa minggu lalu ada aksi pelaporan oleh kelompok masyarakat di depan KPK soal adanya dugaan korupsi pada Program Kartu Prakerja yang kemudian dihalangi belasan preman,” kata Direktur Eksekutif IAAC Dodi Lapihu dalam keterangan tertulis pada hari Senin (8/6/2020).

Dodi mengatakan bahwa program Kartu Prakerja dirancang untuk meningkatkan kualitas SDM dan kompetensi tenaga kerja melalui proses upskilling dan reskilling. Namun, berdasarkan informasi yang didapatkan oleh IAAC, pelatihan online pada Kartu Prakerja tidak menerbitkan sertifikat keahlian, padahal sertifikat ini yang dibutuhkan oleh peserta untuk bisa masuk ke dunia kerja.

“Perlu digarisbawahi bahwa program ini tidak menerbitkan sertifikat keahlian yang menjadi bukti bahwa peserta telah di-upgrading kemampuannya sehingga bisa terserap oleh dunia kerja. Padahal peserta membutuhkan pelatihan praktikal yang ditindaklanjuti dengan adanya sertifikat kompetensi untuk peserta yang lulus pelatihan. Oleh karena beberapa alasan di atas, kami mendesak pemerintah segera mengevaluasi pelaksanaan program Kartu Prakerja,” tegasnya.

Sebelumnya, IAAC bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) dan BEM Universitas Trisakti mengadakan webinar dengan topik ‘Arah Gerakan Antikorupsi di tengah Pandemi’. Hadir sebagai narasumber, Benydictus Siumlala dari Dikyanmas KPK RI, Sekretaris Umum GAMKI Sahat Martin Philip Sinurat, Nisa Rizkiah dari ICW, dan Direktur Eksekutif IAAC Dodi Lapihu sebagai pemantik diskusi. Webinar tersebut dipandu oleh Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Dinno Ardiansyah.

Dalam kegiatan yang dilaksanakan pada hari Kamis (4/6) tersebut, Benydictus Siumlala dari Dikyanmas KPK RI menyampaikan bahwa salah satu program yang perlu disoroti di masa pandemi adalah program Kartu Prakerja.

“Silahkan teman-teman lihat sendiri kira-kira apa yang terjadi disitu. Program ini dikeluarkan oleh pemerintah dan siapa yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menjalankan program ini,” kata Benydictus.

Sekretaris Umum DPP GAMKI Sahat MP Sinurat dalam diskusi daring tersebut juga menyoroti polemik program Kartu Prakerja.

“Kita dari GAMKI beberapa minggu lalu sudah mengeluarkan pernyataan sikap resmi untuk mendesak Pemerintah mengevaluasi pelaksanaan program Kartu Prakerja secara khusus terkait program pelatihan online. Yang GAMKI persoalkan adalah anggaran 5 triliun untuk pelatihan. Untuk anggaran 15 triliun sebagai bantuan bagi pekerja yang terdampak COVID-19 ataupun bagi para pencari kerja sebelum mereka mendapat pekerjaan, hal tersebut menjadi wajar dan tepat dilaksanakan di tengah pandemi ini. Yang kita kritisi terkait pelatihannya,” ujar Sahat.

Menurut Sahat, program Kartu Prakerja idealnya dibutuhkan untuk menjembatani kompetensi calon tenaga kerja dengan kebutuhan industri. Oleh karena itu, perlu adanya semacam pelatihan kepada pencari kerja agar siap direkrut oleh dunia industri.

“Namun kondisi pandemi, pelatihan tatap muka tidak bisa dilakukan dan tiba-tiba muncul pelatihan online. Kami melihat penunjukan penyedia layanan platform digital dilakukan bukan dengan mekanisme pengadaan barang dan jasa yang benar. Selain itu, biaya mengikuti pelatihan seharusnya bisa jauh lebih murah, apalagi sistem pelatihannya bukan secara live tetapi dengan rekaman yang bisa diputar berulang-ulang. Artinya ini sangat menguntungkan bagi penyedia layanan platform digital tadi,” jelas Sahat.

Peneliti dari ICW, Nisa Rizkiah menyatakan bahwa ada lima poin kritik ICW terkait program Kartu Prakerja.

Pertama, prosedur penentuan penyedia jasa tidak sesuai dengan mekanisme pengadaan barang dan jasa. Kemudian ada konflik kepentingan penyedia jasa dengan staf khusus presiden. Selanjutnya, program kerja ini dinilai sebagai pemborosan anggaran dan bukan prioritas untuk saat ini karena prioritas anggaran negara adalah untuk belanja alkes dan bantuan sosial masyarakat.

Yang keempat, program ini tidak relevan dengan penanggulangan COVID-19. Dan terakhir, pemerintah tidak tansparan dalam grand desain program Kartu Prakerja.

“Program Kartu Prakerja menelan anggaran sedemikian besar. Kami rasa tidak tepat diluncurkan pada saat pandemi ini. Seharusnya anggaran tersebut bisa direalokasi untuk sektor-sektor lain, seperti belanja alkes dan pembenahan fasilitas kesehatan,” pungkasnya.